Thursday, November 29, 2018

CARUBAN/CIREBON

Pada suatu haridatanglah tiga orang putra dan mantu Prabhu Siliwangi, Raja terakhir Pakuan Pajajaran di Jawa Barat ialah Pangeran Cakrabuana, Ratu Mas Rarasantang dan Ibu Indhang Ayu, masuk Islam dan berguru kepada Syekh Nurul Jati di Gunung jati Pasambangan Cirebon. Setelah tamat ketiga murid ini diperintah oleh rama guru Babayaksa dedukuh kilometer ke selatan.Lalu beliau-beliau itu turun gunung dan setelah 5 km menyusur pantai ke selatan, beliau-beliau menjumpai satu-satunya rumah seorang nelayan bernama Ki Gedheng Alang-alang pada tahun 1445M.

sejarah cirebon


Rumahnya disebut WITANA, yang berarti awit ana umah, permulaan ada rumah terletak di kompleks Lemahwungkuk Cirebon,yang mana dengan perinciannya berturut-turut: Witana menjadi Kraton Kanoman ruangan mengurus rakyat menjadi balai Desa Lemahwungkuk, gebyok Kebon Pesisir menjadi Gedung Kaprabonan dan lunjuk/gubuk Kebon Pesisir Pengguron Caruban/secretariat Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon.Dilunjuk ini dulunya Pangeran Cakrabuana sering memberi santapan rohani kepada murid-muridnya di antaranya dari Rajagaluh.

Untuk keperluan air minum dan mencuci ikan, terutama udang carbon dari laut, Pangeran Cakrabuana membuat sebuah sumur, yang disebut Sumur Si Jambe, oleh karena dulunya sumur itu diayomi oleh sebuah pohon jambe yang sekarang sudah tidak ada, airnya tidak asin walaupun berada waktu dulu di pinggir pantai sekali, kemudian disebut sumur SEKARAN, oleh karena tadinya airnya selanjutnya khusus dipakai untuk mencuci bunga-bunga/sekar untuk didtaburkan kepada makam Sunan Gunung Jati dan lain-lainnya di Astana Agung Gunung Jati dengan iring-iringan resmi, diselenggarakan dan “start” dari kraton Kanoman mengawali waktu-waktu tertentu, diantaranya Grebeg Mulud, Sawalan (hari tanggal 8 setelah Idul Fitri) dan Idul Adha. Keunikan iring-iringan resmi traditional ini adalah harus berlalu di tengah-tengah jalan besardan tidak boleh minggir biarpun berpapasan dengan siapa saja dengan kendaran apa saja. Sebaliknya merekalah yang harus minggir atau berhenti menunggu di pinggir jalan. Oleh karenanya ada seorang Residen Belanda Yang berkeberatan (Pieter Waalbeck tahun 1880-an), lalu mengeluarkan larangan halus dengan menganjurkan seyogyanya pencucian bunga-bunga itu dilakukan di salah sebuah sumur di Astana Agung Gunung Jati saja. Sejak inilah iring-iringan itu berhenti dan pencucian selanjutnya dilakukan hingga sekarang disana. Ketiga putra-putri itu dijadikan anak-anak angkat Ki Gedheng Alang-alang dan menjadi ahli warisnya.

Pada ahad kliwon 1 sura tahun 1445M, mereka membabat hutan rawa belukar sekitarnya untuk dijadikan kebon dan lading. Pula mereka mendirikan industri-rumah terasi dan blendrang (masakan cai/air rebon) dengan alat lumping dan alu batu besar. Lumpang dan alu batu besar ini masih berada di pinggir alun-alun Kanoman, dan saban muludan masih diperingati secara tradisi. Tidak lama kemudian Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug Jami ( sebelum Masjid Agung Cirebon yang sekarang) yang disebut Tajug Pejlagrahan, yang sekarnag masih ada di kampong Grubugan/Sitimulya. Inilah semua purwanya/cikal bakal Kotamadya Cirebon. Kemudian barulah dibangun berturut-turut : Kraton Pakungwati/KRaton Kasepuhan dan Masjid Agung Cirebon.

Lama kelamaan menjadi ini terdengar oleh rakyat Pesambangan,Rajagaluh dan Palimanan. Mereka berduyun-duyun membeli terasi dan Cai Rebon/petisss blendrang. Sejak inilah dukuh itu disebut orang dukuh Cirebon, pada tahun 1447M. Yang menjadi pikuat atau Kuwu orang mengangkatnya Ki Gedheng Alang-alang dan agamanya seluruh dukuh Cirebon adalah Islam. Permulaan ada daerah Islam di Pulau Jawa (yang telah ada hanya pesantren-pesantren saja, bukan daerah). Ki gedheng Alang-alang pulalah yang menjadi penghuni dan Kuwu pertama di kota Cirebon sekarang. Setelah Ki Gedheng Alang-alang wafat, Pangeran Cakrabuana diangkat oleh rakyat menjadi embah Kuwu Dukuh Cirebon dengan gelar Cri Mangana. Kemudian mereka bertiga menghadap gurunya dan setelah diterima baktinya, mereka berdua diperintah oleh Gurunya menunaikan Ibadah haji ke Mekah, Ibu Indhang Geulis oleh karena sedang mengandung ditinggalkan tunggu rumah. Dari sinilah lantaranya Ratu Mas Rarasantang mendapat jodoh dengan Sultan makhmud Syarif Abdullah, Sultan Mesir.   


EmoticonEmoticon