Pada suatu haridatanglah tiga orang putra dan mantu Prabhu Siliwangi, Raja terakhir Pakuan
Pajajaran di Jawa Barat ialah Pangeran Cakrabuana, Ratu Mas Rarasantang dan Ibu
Indhang Ayu, masuk Islam dan berguru kepada Syekh Nurul Jati di Gunung jati
Pasambangan Cirebon. Setelah tamat ketiga murid ini diperintah oleh rama guru
Babayaksa dedukuh kilometer ke selatan.Lalu
beliau-beliau itu turun gunung dan setelah 5 km menyusur pantai ke selatan,
beliau-beliau menjumpai satu-satunya rumah seorang nelayan bernama Ki Gedheng
Alang-alang pada tahun 1445M.
Rumahnya disebut WITANA, yang berarti awit ana umah,
permulaan ada rumah terletak di kompleks Lemahwungkuk Cirebon,yang mana dengan
perinciannya berturut-turut: Witana menjadi Kraton Kanoman ruangan mengurus
rakyat menjadi balai Desa Lemahwungkuk, gebyok Kebon Pesisir menjadi Gedung
Kaprabonan dan lunjuk/gubuk Kebon Pesisir Pengguron Caruban/secretariat Lembaga
Kebudayaan Wilayah III Cirebon.Dilunjuk
ini dulunya Pangeran Cakrabuana sering memberi santapan rohani kepada
murid-muridnya di antaranya dari Rajagaluh.
Untuk keperluan air minum dan mencuci ikan, terutama udang carbon dari laut, Pangeran Cakrabuana membuat sebuah sumur, yang disebut Sumur Si Jambe, oleh karena dulunya sumur itu diayomi oleh sebuah pohon jambe yang sekarang sudah tidak ada, airnya tidak asin walaupun berada waktu dulu di pinggir pantai sekali, kemudian disebut sumur SEKARAN, oleh karena tadinya airnya selanjutnya khusus dipakai untuk mencuci bunga-bunga/sekar untuk didtaburkan kepada makam Sunan Gunung Jati dan lain-lainnya di Astana Agung Gunung Jati dengan iring-iringan resmi, diselenggarakan dan “start” dari kraton Kanoman mengawali waktu-waktu tertentu, diantaranya Grebeg Mulud, Sawalan (hari tanggal 8 setelah Idul Fitri) dan Idul Adha. Keunikan iring-iringan resmi traditional ini adalah harus berlalu di tengah-tengah jalan besardan tidak boleh minggir biarpun berpapasan dengan siapa saja dengan kendaran apa saja. Sebaliknya merekalah yang harus minggir atau berhenti menunggu di pinggir jalan. Oleh karenanya ada seorang Residen Belanda Yang berkeberatan (Pieter Waalbeck tahun 1880-an), lalu mengeluarkan larangan halus dengan menganjurkan seyogyanya pencucian bunga-bunga itu dilakukan di salah sebuah sumur di Astana Agung Gunung Jati saja. Sejak inilah iring-iringan itu berhenti dan pencucian selanjutnya dilakukan hingga sekarang disana. Ketiga putra-putri itu dijadikan anak-anak angkat Ki Gedheng Alang-alang dan menjadi ahli warisnya.
Untuk keperluan air minum dan mencuci ikan, terutama udang carbon dari laut, Pangeran Cakrabuana membuat sebuah sumur, yang disebut Sumur Si Jambe, oleh karena dulunya sumur itu diayomi oleh sebuah pohon jambe yang sekarang sudah tidak ada, airnya tidak asin walaupun berada waktu dulu di pinggir pantai sekali, kemudian disebut sumur SEKARAN, oleh karena tadinya airnya selanjutnya khusus dipakai untuk mencuci bunga-bunga/sekar untuk didtaburkan kepada makam Sunan Gunung Jati dan lain-lainnya di Astana Agung Gunung Jati dengan iring-iringan resmi, diselenggarakan dan “start” dari kraton Kanoman mengawali waktu-waktu tertentu, diantaranya Grebeg Mulud, Sawalan (hari tanggal 8 setelah Idul Fitri) dan Idul Adha. Keunikan iring-iringan resmi traditional ini adalah harus berlalu di tengah-tengah jalan besardan tidak boleh minggir biarpun berpapasan dengan siapa saja dengan kendaran apa saja. Sebaliknya merekalah yang harus minggir atau berhenti menunggu di pinggir jalan. Oleh karenanya ada seorang Residen Belanda Yang berkeberatan (Pieter Waalbeck tahun 1880-an), lalu mengeluarkan larangan halus dengan menganjurkan seyogyanya pencucian bunga-bunga itu dilakukan di salah sebuah sumur di Astana Agung Gunung Jati saja. Sejak inilah iring-iringan itu berhenti dan pencucian selanjutnya dilakukan hingga sekarang disana. Ketiga putra-putri itu dijadikan anak-anak angkat Ki Gedheng Alang-alang dan menjadi ahli warisnya.
Pada ahad
kliwon 1 sura tahun 1445M, mereka membabat hutan rawa belukar sekitarnya untuk
dijadikan kebon dan lading. Pula mereka mendirikan industri-rumah terasi dan
blendrang (masakan cai/air rebon) dengan alat lumping dan alu batu besar.
Lumpang dan alu batu besar ini masih berada di pinggir alun-alun Kanoman, dan
saban muludan masih diperingati secara tradisi. Tidak lama kemudian Pangeran
Cakrabuana mendirikan Tajug Jami ( sebelum Masjid Agung Cirebon yang sekarang)
yang disebut Tajug Pejlagrahan, yang sekarnag masih ada di kampong
Grubugan/Sitimulya. Inilah semua purwanya/cikal bakal Kotamadya Cirebon.
Kemudian barulah dibangun berturut-turut : Kraton Pakungwati/KRaton Kasepuhan
dan Masjid Agung Cirebon.
Lama
kelamaan menjadi ini terdengar oleh rakyat Pesambangan,Rajagaluh dan Palimanan.
Mereka berduyun-duyun membeli terasi dan Cai Rebon/petisss blendrang. Sejak
inilah dukuh itu disebut orang dukuh Cirebon, pada tahun 1447M. Yang
menjadi pikuat atau Kuwu orang mengangkatnya Ki Gedheng Alang-alang dan
agamanya seluruh dukuh Cirebon adalah Islam. Permulaan ada daerah Islam di
Pulau Jawa (yang telah ada hanya pesantren-pesantren saja, bukan daerah). Ki gedheng
Alang-alang pulalah yang menjadi penghuni dan Kuwu pertama di kota Cirebon
sekarang. Setelah Ki Gedheng Alang-alang wafat, Pangeran Cakrabuana diangkat
oleh rakyat menjadi embah Kuwu Dukuh Cirebon dengan gelar Cri Mangana. Kemudian
mereka bertiga menghadap gurunya dan setelah diterima baktinya, mereka berdua
diperintah oleh Gurunya menunaikan Ibadah haji ke Mekah, Ibu Indhang Geulis
oleh karena sedang mengandung ditinggalkan tunggu rumah. Dari sinilah
lantaranya Ratu Mas Rarasantang mendapat jodoh dengan Sultan makhmud Syarif
Abdullah, Sultan Mesir.
EmoticonEmoticon