Pada awal tahun Masehi 14 ratusan
tiga orang putra dari Sayid Jamaluddin Al Husein, seorang keluarga dekat (juga
menduduki jabatan tinggu Pemerintahan) Sultan Sulaeman dari Kerajaan Islam
Irakk berkedudukan di Bagdhad, ayahanda Pangeran Panjunan, Pangeran Kejaksan,
Syarifah Baghdad (Siti Baghdad)dan Syarif Khafid, Jamaluddin AL Husein adalah
seorang keturunan kesembilan belas dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW
Ketiga
orang Putra tersebut tadi adalah:
1. Ali Nurrul Alim
2. Barkat zaenal Alim
3. Ibrahim Zaenal Akhbar
Beliau
masing-masing setelah cukup cakap dalam Ilmu Agama Islamnya, merantau untuk
berdakwah Islam sebagai misi-misi Islam perorangan Kerajaan Islam Irak/Bagdhad
dalam rangka Expansi agama Islam keluar Kerajaan Irak.
Ali Nurrul
ALim melintasi Laut Merah melalui Ismailiyah menetap di Kairo, Ibu Kota Kerajan
Mesir, Lambat laut dapat menduduki jabatan tinggi dalam Pemerintahan Kerajaan
Mesir.
Barkat
Zaenal Alim melalui darat, dating ke Gujarat. Sedangkan Ibrahim Zaenal Akbar
dating di Cempa/Kamboja.
Beliau-beliau
ini masing-masing telah menetap dan menjadi warga Negara disana. Ali Nurrul
Alim mempunyai seoerang putra yang bernama Syarif Abdullah, setelah dewasa,
beliau menikah dengan putri mahkota mesir. Setelah ayahanda mahkota mesir
wafat, putri mahkota Mesir itu dinobatkan menjadi Sultana Mesir memerintah
bersama dengan suaminya ialah Syarif Abdullah diberi gelar Sulthon.
Sultana
Mesir itu tidak lama kemudian wafat tanpa putra. Selanjutnya Negara mesir itu
dipercayakan kepada Sulthon Makhmud Syarif Abdullah untuk terus memerintahnya
oleh seluruh rakyat Negara Mesir. Pada pernikaha kedua beliau dengan Ratu Mas
Rarasantang, seorang saudara muda kandung putra mahkota Pajajaran Jawa Barat
(PUlau Jawa), ialah Pangeran Cakrabuana, beliau dianugrahi putra dua orang
ialah yang tertua Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah dan saudara mudanya
Syarif Nuruulah.
Sunan
Gunung Jati Syarif Hidayatullah pada waktunya berhasil mengislamkan seluurh
Negara Pajajaran/Jawa Barat dan berhasil juga turut melahirkan Negara beraga
Islam Demak di atas wilayah bekas seluruh Negara Majapahit/Jawa Tengah, Jawa
Timur. Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah berkedudukan diKraton
Pakungwati/Kraton Kasepuhan Ciirebon, pula Sunan Gunung Jati Syarif
Hidayatullah disamping menjadi Kepala Negara Beragama Islam Cirebon, menjabat pula
Ketua Dewan Wali Sanga pulau Jawa, setelah Sunan Ampel Dhenta Susrabaya wafat
dan setelah dipulau Jawa berdiri dua Negara beraga Islam Besar, ialah Cirebon
dan Demak ini menurut hemat Dewan Wali Sanga telah masak waktunya untuk
mengangkat lagi seorang Wali Khutub untuk daerah Masrik/Timur setelah agak lama
wafatnya Wali Khutub Syekh Abdul Qodir jaelani uang berkedudukan di Baghdad
untuk daerah Magrib/Barat. Jabatan ini oleh Dewan Wali Sanga dipercayakan
kepada beliau/Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah.
Adapun
Barkat Zaenal Alim mempunyai cucu yang bernama Maulana Makhdar Ibrahim yang
setelah dewasa dan cukup cakap Ilmu Agama Islamnya, merantau berda’wah Islam
dalam rangka kelanjutan misi Islam kakeknya hingga dating di Basem Paseh/Aceh.
Beliau disana menikah dengan putri mahkotanya. Setelah ayahanda putri itu
wafat, putri mahkota itu menjadi Sultana di Paseh Aceh dan memerintah bersama
dengan suaminya bergelar Sultan Hud/Sultan Huda. Sultan Huda ini, dua orang
dari putra putrinya bernama Fadhilah Khan dan Ratu Gandasari. Nama Gandasari
ini diperoleh dari Pangeran Cakrabuana waktu beliau pulang setelah menunaikan
ibadah haji singgah di Aceh memungut anak seorang bayi dari Sultan huda, yang
nantinya setelah dating di Cirebon bayi ini diberi nama Ratu Gandasari yang
selanjutnya menetap dan wafat di desa Panguragan dan bernama pula Ibu Gedheng
Panguragan.
Setelah
pada tahun 1511M. malaka direbut portugis, pada tahun 1521M. Paseh Juga jatuh
di tangan Portugis.
Salah
seorang ulama Islam dari Paseh seorang putra Sultan Huda yang bernama Fadhilah
Khan (menurut lidah portugis nama Fadhilah Khan dilisankan Falatehan), terpaksa
mengungsi ke Demak. Sebelumnya ia mengungsi ke Mekah dan Baghdad disamping
menunaikan Ibadah Hajinya dan mendalami Ilmu Agama Islamnya bermaksud pula
minta dukungan dari Mekah dan Baghdad untuk mengusir balatentara Portugis yang
menduduki Aceh. Mengingat tidak tersedianya kapal-kapal dan perlengkapan
alat-alat perang dari Mekah dan Baghdad, pula oleh karena terlalu jauh
jaraknya, dianjurkan Fadhilah Khan/Falatehan untuk dating di Pulau Jawa, oleh
karena di Pulau Jawa sudah ada dua Negara Besar yang beragama Islam ialah
Cirebon dan Demak, yang sedang mencapai Kejayaanya pada waktu itu. Di Demak ia
menikah dengan salah seorang adik dari Sultan Trenggono/Sultan Demak III yang
bernama Ratu Pulung. Di Demak beliau menjadi Jendral Pertama tentara Negara
Demak.
Pada tahun
1524M di Cirebon beliau menikah dengan Ratu Ayu seorang putri dai SUnan Gunung
Jati Syarif Hidayatullah, pula seorang janda dari almarhum Sultan Demak II
(Pangeran Sabrang Lor). Pada tahun 1526M Fadhilah khan/Falatehan, Pangeran
Carbon seorang putra Pangeran Cakrabuana, Dipati Keling (Dipati Suranenggala)
dan DIpati Cangkuang memimpin Tentara Islam Gabungan Cirebon dan Demak atas
perintah SUnan Gunung Jati Syarif HIdayatullah dan Sultan Trenggono/Sultan
Demak III, berperang di Banten bawahan Pakuan Pajajaran memebantu pemberontakan
Pangeran Hasanuddin, ia adalah seorang putra Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah
dari seorang putri Banten, Ratu Kawunganten dengan berahsil. Kemudian Pangeran
Hasanuddin diangkat oleh ayahandanya menjadi sultan banten pertama. Sedangkan pada
tahun 1527M. Fadhilah Khan, Pangeran Carbon, Dipati Suranenggala dan Dipati
Cangkuang dapat menaklukan Sunda Kelapa bawahan Pakuan Pajajaran, juga setelah
itu Faletehan diangkat menjadi Bupati Sunda Kelapa yang beralih nama Jayakarta
sebagai wakil dan Sunan Gunung Jati Syekh Syarif Hidayatullah.
Masih dalam
tahun 1527M. Tentara Islam Gabungan Cirebon dan Demak itu dibawah komando Faletehan,
Pangeran Carbon, Dipati Suranenggala dan Dipati Cangkuang berhasil mengusir
armada perang Portugis dari pelabuhan Jayakarta.
Pada tahun
1546M. Faletehan bersama sultan Trenggono berperang di Jawa Timur. Sultan Trenggono
gugur disana. Faletehan pulang ke Cirebon, selanjutnya meneruskan jabatannya
sebagai Bupati di Jayakarta.
Pada tahun
1552M. beliau mewakili Sunan Gunung Jati Syekh Syarif Hidayatullah di Cirebon,
karena Sunan Gunung Jati Syekh Syarif Hidayatullah sedang bertabligh di seluruh
Pajajaran.
Adapaun Faletehan
dilahirkan pada tahun 1490M. di Paseh dan wafat kebetulan sedang di Cirebon
pada tahun 1570M. sedangkan Sunan Gunung jati Syarif Hidayatullah dilahirkan di
Mekah pada tahun 1448M. dan wafat di Cirebon pada tahun 1568M. jenazahnya
dikebumikan dipuncak gunung sembung/Astana Agung GUnung jati Cirebon dan
Faletehan/Fadhilah Khan dikebumikan juga disana disebelah TImur makam Sunan
GUnung Jati Syekh Syarif Hidayatullah.
Nama lengkap
dari Fadhilah Khan/Faletehan adalah Maulana Fadhilah Khan AL Paseh ibnu Maulana
Makhdar Ibrahim al Gujarat.
Adapun Ibrahim
Zaenal Akbar salah seorang putranya ialah Ali Rakhmatullah yang mendarat ke
jawa dalam rangka melanjutkan misi Islam ayahandanya berda’wah agama Islam menikah
dengan seorang putri Tumenggung Wilatikta Tuban. Selanjutnya setelah gagal
menganjurkan memeluk agama Islam kepada Prabhu Brawijaya Kertabumi/Raja
Terakhir Negara Majapahit, ayahanda dari panembahan Djim Boen/ Raden Patah
Sultan Demak Pertama (dalam kejadian ini Ali Rakhmatullah hampir saja membayar
dengan jiwanya), menetap di Ampel Dhenta – Surabaya, membangun Pengguron Besar
Islamnya dan bergelar Sunan Ampel Dhenta, sambil menunggu timing yang tepat
untuk mengislamkan seluruh Majapahit.
Waktu yang
tepat ini direncanakan dan diputuskan oleh Dewan Wali Sanga yang pada
permulaanya diketuai oleh SUnan Ampel Dhenta ialah pada Dhohirnya Raden Patah
yang dibesarkan dan dipelihara dan dibangun jiwa keislamannya oleh Arya
Damar/Arya Dillah Sultan Palembang. Jadi penjatuhan Negara Majapahit dan
pembangunan Kesultanan Demak itu telah dipersiapkan perencanaanya sampai masak
dari A sampai Z hingga berhasil oleh Dewan Wali Sanga yang diketuai permulaanya
oleh Sunan Ampel Dhenta dan setelah beliau wafat dilanjutkan oleh Sunan Gunung
Jati Syekh Syarif Hidayatullah.